Jumat, 22 Juli 2016

Kajian Makna dalam Pandangan Semiotik



Perbedaan Pengkajian Makna Menurut Pierce dan Saussure
Manusia, pada kodratnya selalu memiliki rasa ingin tahu. Karena keingintahuan tersebut maka mereka selalu mencari makna dari berbagai hal yang ada disekitarnya. Karena itulah manusia memiliki kemampuan untuk memberikan makna pada berbagai gejala social budaya dan alamiah.
Semiotika merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), fungsi tanda dan produksi makna dalam kehidupan manusia.  Dimana tanda itu sendiri merupakan sesuatu yang berarti bagi sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda. Oleh karena itu, tanda adalah tanda hanya apabila bermakna bagi manusia.
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology). Adapun perbedaan yang paling nyata yang dilihat dari sudut pandang kedua semiotikus tersebut ialah Saussure lebih menekankan pada tanda-tanda linguistic sedangkan pierce berangkat dari tanda global atau pansemiotik (Noth.1995).
Menurut Saussure, semenjak bahasa dianggap sebagai sebuah sistem tanda, penelitian linguistic harus diarahkan terhadap produksi tanda dan aturan yang melatar belakanginya (Lee 1989). Namun dalam hal ini, Saussure lebih menekankan pada konsep arbitrer dan dwipihak atau dyadic (Masinambow, 2000).
Dalam catatan kuliahnya yang kemudian dibukukan pada tahun 1916, disebutkan bahwa terdapat lima hal penting, yaitu dimana yang pertama ialah bahwa tanda terdiri dari penanda (significant) dan petanda (signifie) yang hubungan pemaknaannya didasari oleh konvensi social, sehingga karena itulah hal yang kedua ialah bahwa bahasa merupakan gejala social yang bersifat arbitrer serta konvesional dan terdiri dari perangkat kaidah social yang disadari bersama (langue) dan praktik social (parole), kemudian yang ke tiga ialah hubungan antar tanda bersifat sintagmatik dan assosiatif. Bahasa terdiri dari tanda-tanda yang tersusun secara linier dan berdampingan. Susunan antar tanda dikatakan didasari oleh relasi sintagmatik linier, misalnya: “Ali makan nasi”. Selain itu, tanda bahasa yang dilihat dalam relasi assosiatif ialah seperti contoh kata “mahasiswa” dapat menimbulkan asosiasi (spontan) pada sejumlah kata yang lainnya. Misalnya seperti kata dosen, ujian, buku, universitas, fakultas, dll. 
Hal yang ke empat ialah bahwa bahasa dapat didekati secara diakronis (perkembangannya) dan sinkronis (sistemnya pada kurun waktu tertentu). Adapun konsep sinkronis berhubungan dengan dua konsep yaitu sintagmatik dan paradigmatic. Menurut Saussure tanda secara sinkronik diatur oleh aspek paradigmatic atau satu set pilihan tanda yang dikemas dalam bentuk hierarkis seperti halnya pada konsep tentang warna ( putih,hitam,sawo matang,pucat,hijau) yang mengisi slot warna kulit ialah paradigmatic.
Kemudian konsep konsep sintagmatik ialah tanda-tanda yang diambil dari paradigm tersebut dapat dikombinasikan dengan set yang lain dengan mengikuti aturan yang berlaku. Misalnya dapat kita lihat pada contoh kalimat “wanita putih itu cantik”. Dalam kalimat ini, ada hubungan relasional diantara paradigm atau set tentang wanita, warna, cantik, deiksis dan kulit.
Selanjutnya hal yang ke lima dalam pandangan Saussure ialah dilihat sebagai gejala sosial dimana bahasa terdiri dari dua tataran yaitu kaidah sistem internal (langue) dan praktik sosial (parole). Dalam kaitannya dengan ini, Saussure lebih cenderung memperhatikan langue ketimbang parole. Hal ini dipahami karena Saussure lebih berambisi untuk mencari keteraturan yang dapat dikemasnya sebagai ilmu tanda. Sedang parole dianggap sebagai aktualisasi bahasa yang temporal. Untuk demikian, penekanan pada penelitian harus tertuju pada struktur kognisi yang kokoh. 
Sementara Saussure menekankan pada tanda- tanda linguistis sementara Pierce melihat pada konsep tanda yang lebih luas yang tidak hanya sebatas pada tanda linguistis. Pierce melihat semiotik tidak hanya dalam kerangka komunikasi tetapi dalam proses signifikasi yang mana sebuah proses pelahiran tanda dan makna. Pierce melihat tanda dalam mata rantai tanda yang tumbuh. Karena hal inilah para pengamat menempatkan pierce sebagai bagian dari pragmatism.
Adapun dasar dari pemikiran pragmatism dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic) yakni dimana setiap gejala secara fenomenologis mencakup tiga hal, yaitu (1) bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain. (2) bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu. (3) bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan dan ditandai. Dari kategori- kategori ini menunjukkan bahwa realitas hadir dalam tiga kemungkinan.
Setiap tanda dapat ditempatkan sebagai tanda itu sendiri, sebagai tanda yang terkait dengan yang lainnya dan sebagai mediator antara objek dan intrepretan. Dari ketiga kemungkinan inilah bagaimana realitas dipandang menurut pandangannya Pierce. Berlanjut dari tiga kemungkinan tersebut, maka dihasilkanlah tiga trikotomi, yakni: trikotomi pertama (ground) yang terdiri dari qualisign, sinsign dan legisign. Tri kotomi yang kedua(denotatum) terdiri dari ikonis, indeks dan symbol, dan trikotomi yang ke tiga(interpretant) yang terdiri dari term, proposisi dan argument.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perhatian utama dalam teori semiotik yaitu berada pada “tanda” yakni sesuatu yang mewakili sesuatu. Katakanlah bahwa sesuatu yang diwakili tersebut merupakan “pengalaman manusia”, baik pengalaman fisik maupun pengalaman mental. Misalnya sebuah pengalaman fisik yang berupa kebakaran rumah. Dalam mengemukakan makna tanda “sesuatu yang mewakili sesuatu” maka kaitannya dalam hal ini kita dapat mengatakan bahwa tanda adalah “sesuatu yang mewakili pengalaman”, sesuatu yang dimaksud yang berhubungan dengan hal ini ialah, misalnya asap yang terlihat dari jauh menurut semiotik disebut dengan representamen.
Menurut model trikotomi pierce bahwa proses pemaknaan tanda mengikuti tiga tahap, yakni: (1) persepsi indrawi atas representamen (asap yang terlihat dari jauh), (2) perujukan asap pada objek (peristiwa kebakaran yang tidak dialami langsung) dan (3) pembentukan interpretan (penafsiran).
Berdasarkan representamennya kita dapat membedakan tiga jenis tanda yakni: ikon,indeks dan lambing. Mengacu pada pengalaman kebakaran rumah, pengalaman tersebut dapat dialami melalui tiga jenis tanda yang telah disebutkan di atas. Apabila pengalaman itu dialami dengan melihat “asap mengepul dikejauhan” maka asap tersebut adalah tanda yang termasuk jenis indeks. Yang mana indeks merupakan representamen yang mempunyai keterkaitan dengan yang diwakilinya. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa asap yang dimaksud adalah bagian dari kebakaran.
Di samping itu, kita juga dapat memahami pengalaman “kebakaran” tersebut juga bisa menjadi representamen lain yaitu ikon. Misalnya berupa foto atau sebuah gambar yang menyajikan kebakaran, ialah contoh daripada ikon. Foto maupun gambar bergerak tersebut merupakan “tiruan” dari kebakaran yang kita lihat dan memberikan pengalaman pada kita karena memiliki keserupaan dengan kebakaran tersebut. Adapun selain dari dua hal tersebut, pengalaman juga dapat diwakili oleh representamen jenis lambang, yaitu suatu representamen yang kaitan dengan objeknya didasari konvensi antara pemberi tanda dan penerima tanda. Misalnya bunyi sirine pemadam kebakaran yang dalam konvensi masyarakat merupakan sebuah tanda adanya kebakaran.
Pierce berpendapat bahwa sebuah tanda tidak berarti apa-apa terkecuali jika itu diinterpretasikan sebagai tanda (Noth, 1996), dengan demikian, sebuah tanda melibatkan proses kognitif di dalam kepala seseorang dan proses itu dapat terjadi kalau ada representamen, acuan, dan interpretan. Sebuah tanda memiliki tiga dimensi yang saling terkait yakni: representamen (R) sesuatu yang dapat dipersepsi (perceptible), objek (O) sesuatu yang mengacu kepada hal lain (referential) dan interpretan (I) sesuatu yang dapat diinterpretasi (interpretable).
Adapun contoh dari proses pemaknaan yang dikemukakan oleh pierce ialah yang mana kita ambil istilah “tonggak” yang memiliki kaitan dengan gejala semiotik. Tonggak merupakan sebuah istilah yang digunakan sebagai metafora, yakni representamen yang memiliki objek tertentu. Tonggak mengingatkan seseorang akan sesuatu (objek).

a.       Benda dan ingatan
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa tonggak merupakan representamen dari sesuatu, dan dalam pandangan semiotik tonggak adalah representamen yang dipersepsi oleh manusia. maka berikut ini ialah contoh “tonggak” yang kaitannya dengan benda dengan ingatan. Berdasarkan pengalaman dan kepercayaannya, manusia menghubungkan representamen tersebut dengan seseorang yang sudah tiada (objek) dan kemudian menafsirkannya. Seperti halnya “batu nisan” yang berfungsi sebagai representamen dari orang yang telah tiada (objek). Sering kali pada bulan ramadhan kita mengunjungi makam orang-orang yang kita kenal yang menurut kita perlu untuk diingat, bisa saja orang tua maupun orang yang dikenal lainnya. Namun ada juga objek lainnya yang berbentuk sosok seseorang yang tidak kita kenal secara pribadi namun dipercayai sebagai leluhur atau orang suci yang bisa dimintai berkah. Sehingga proses interpretan (penafsiran) dari makna “nisan” tersebut sesuai dengan keinginan yang bersangkutan, misalnya dengan dengan meminta maaf kepada kepada orang tua hidup akan lebih berkah dan tenang. Itulah makna makam atau nisa sebagai tonggak, sebagai pengingat yang bermakna religious.
b.      Peristiwa dan ingatan
Tonggak tidak harus selalu berupa benda, tonggak bisa juga berupa peristiwa. Misalnya adanya peringatan nuzulul Qur’an merupakan representamen yang dalam kognisi manusia melahirkan objek diturunkannya Al-Qur’an. Selain itu, pada tanggal 17 agustus kita melakukan upacara merupakan representamen dari objek  negara Indonesia bebas dari penjajah. Maka, “ tonggak” yakni representamen upacara dan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan peristiwa bersejarah itu, masyarakat diingatkan sehingga peristiwa tersebut hadir sebagai objek yang ditandai oleh “tonggak” tersebut.
c.       Lagu dan Ingatan
Ketika mendengarkan sebuah lagu serupa juga dengan melihat sebuah “tonggak” (representamen) yang berkaitan dengan suatu peristiwa atau seseorang (objek). Contohnya: lagu “alamat palsu” mengingatkan kita pada Ayu ting-ting, atau lagu tertentu mengingatkan kita pada peristiwa di masa lalu atau orang-orang tertentu yang saat itu lagi bersama kita ketika mendengarkannya.
d.      Bau serta aroma dan ingatan
Bau atau aroma juga berfungsi sebagai “tonggak”. Aroma parfum tertentu (representamen) dapat membawa kita pada pengalaman tertentu dengan seseorang yang kita cintai misalnya (objek). Sate merupakan makanan yang sudah dikenal dimana-mana, maka apabila kita mencium baud aging bakar (representamen), maka bau itu merupakan tanda warung sate tak jauh dari kita (objek).

DAFTAR PUSTAKA
Hoed. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Komunitas Bambu.
Christomy. 2016. HandOut “Peircean dan Kajian Budaya”. Bahan Bacaan kuliah Semiotik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar