Perbedaan Pengkajian Makna Menurut
Pierce dan Saussure
Manusia,
pada kodratnya selalu memiliki rasa ingin tahu. Karena keingintahuan tersebut
maka mereka selalu mencari makna dari berbagai hal yang ada disekitarnya.
Karena itulah manusia memiliki kemampuan untuk memberikan makna pada berbagai
gejala social budaya dan alamiah.
Semiotika
merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), fungsi tanda dan
produksi makna dalam kehidupan manusia.
Dimana tanda itu sendiri merupakan sesuatu yang berarti bagi sesuatu
yang lain. Dalam pandangan Zoest,
segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda.
Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya
peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini
dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata,
suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak
syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang
tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap,
berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut
tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu
dianggap sebagai tanda. Oleh karena itu, tanda adalah tanda hanya apabila
bermakna bagi manusia.
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de
Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh
tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu
sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang
keilmuan adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu
yang dikembangkannya semiologi (semiology). Adapun perbedaan yang paling nyata
yang dilihat dari sudut pandang kedua semiotikus tersebut ialah Saussure lebih
menekankan pada tanda-tanda linguistic sedangkan pierce berangkat dari tanda
global atau pansemiotik (Noth.1995).
Menurut Saussure, semenjak bahasa dianggap sebagai sebuah sistem
tanda, penelitian linguistic harus diarahkan terhadap produksi tanda dan aturan
yang melatar belakanginya (Lee 1989). Namun dalam hal ini, Saussure lebih
menekankan pada konsep arbitrer dan dwipihak atau dyadic (Masinambow, 2000).
Dalam catatan kuliahnya yang kemudian dibukukan pada tahun 1916,
disebutkan bahwa terdapat lima hal penting, yaitu dimana yang pertama ialah
bahwa tanda terdiri dari penanda (significant) dan petanda (signifie) yang
hubungan pemaknaannya didasari oleh konvensi social, sehingga karena itulah hal
yang kedua ialah bahwa bahasa merupakan gejala social yang bersifat arbitrer
serta konvesional dan terdiri dari perangkat kaidah social yang disadari
bersama (langue) dan praktik social (parole), kemudian yang ke tiga ialah
hubungan antar tanda bersifat sintagmatik dan assosiatif. Bahasa terdiri dari
tanda-tanda yang tersusun secara linier dan berdampingan. Susunan antar tanda
dikatakan didasari oleh relasi sintagmatik linier, misalnya: “Ali makan nasi”.
Selain itu, tanda bahasa yang dilihat dalam relasi assosiatif ialah seperti
contoh kata “mahasiswa” dapat menimbulkan asosiasi (spontan) pada sejumlah kata
yang lainnya. Misalnya seperti kata dosen, ujian, buku, universitas, fakultas,
dll.
Hal
yang ke empat ialah bahwa bahasa dapat didekati secara diakronis
(perkembangannya) dan sinkronis (sistemnya pada kurun waktu tertentu). Adapun
konsep sinkronis berhubungan dengan dua konsep yaitu sintagmatik dan
paradigmatic. Menurut Saussure tanda secara sinkronik diatur oleh aspek
paradigmatic atau satu set pilihan tanda yang dikemas dalam bentuk hierarkis
seperti halnya pada konsep tentang warna ( putih,hitam,sawo matang,pucat,hijau)
yang mengisi slot warna kulit ialah paradigmatic.
Kemudian
konsep konsep sintagmatik ialah tanda-tanda yang diambil dari paradigm tersebut
dapat dikombinasikan dengan set yang lain dengan mengikuti aturan yang berlaku.
Misalnya dapat kita lihat pada contoh kalimat “wanita putih itu cantik”. Dalam
kalimat ini, ada hubungan relasional diantara paradigm atau set tentang wanita,
warna, cantik, deiksis dan kulit.
Selanjutnya
hal yang ke lima dalam pandangan Saussure ialah dilihat sebagai gejala sosial
dimana bahasa terdiri dari dua tataran yaitu kaidah sistem internal (langue)
dan praktik sosial (parole). Dalam kaitannya dengan ini, Saussure lebih
cenderung memperhatikan langue ketimbang parole. Hal ini dipahami karena
Saussure lebih berambisi untuk mencari keteraturan yang dapat dikemasnya sebagai
ilmu tanda. Sedang parole dianggap sebagai aktualisasi bahasa yang temporal.
Untuk demikian, penekanan pada penelitian harus tertuju pada struktur kognisi
yang kokoh.
Sementara
Saussure menekankan pada tanda- tanda linguistis sementara Pierce melihat pada
konsep tanda yang lebih luas yang tidak hanya sebatas pada tanda linguistis.
Pierce melihat semiotik tidak hanya dalam kerangka komunikasi tetapi dalam
proses signifikasi yang mana sebuah proses pelahiran tanda dan makna. Pierce
melihat tanda dalam mata rantai tanda yang tumbuh. Karena hal inilah para
pengamat menempatkan pierce sebagai bagian dari pragmatism.
Adapun
dasar dari pemikiran pragmatism dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic)
yakni dimana setiap gejala secara fenomenologis mencakup tiga hal, yaitu (1)
bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain. (2)
bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir
dalam ruang dan waktu. (3) bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi,
dikomunikasikan dan ditandai. Dari kategori- kategori ini menunjukkan bahwa
realitas hadir dalam tiga kemungkinan.
Setiap
tanda dapat ditempatkan sebagai tanda itu sendiri, sebagai tanda yang terkait
dengan yang lainnya dan sebagai mediator antara objek dan intrepretan. Dari
ketiga kemungkinan inilah bagaimana realitas dipandang menurut pandangannya
Pierce. Berlanjut dari tiga kemungkinan tersebut, maka dihasilkanlah tiga
trikotomi, yakni: trikotomi pertama (ground) yang terdiri dari qualisign,
sinsign dan legisign. Tri kotomi yang kedua(denotatum) terdiri dari ikonis,
indeks dan symbol, dan trikotomi yang ke tiga(interpretant) yang terdiri dari
term, proposisi dan argument.
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perhatian utama dalam teori semiotik
yaitu berada pada “tanda” yakni sesuatu yang mewakili sesuatu. Katakanlah bahwa
sesuatu yang diwakili tersebut merupakan “pengalaman manusia”, baik pengalaman
fisik maupun pengalaman mental. Misalnya sebuah pengalaman fisik yang berupa
kebakaran rumah. Dalam mengemukakan makna tanda “sesuatu yang mewakili sesuatu”
maka kaitannya dalam hal ini kita dapat mengatakan bahwa tanda adalah “sesuatu
yang mewakili pengalaman”, sesuatu yang dimaksud yang berhubungan dengan hal
ini ialah, misalnya asap yang terlihat dari jauh menurut semiotik disebut
dengan representamen.
Menurut
model trikotomi pierce bahwa proses pemaknaan tanda mengikuti tiga tahap,
yakni: (1) persepsi indrawi atas representamen (asap yang terlihat dari jauh),
(2) perujukan asap pada objek (peristiwa kebakaran yang tidak dialami langsung)
dan (3) pembentukan interpretan (penafsiran).
Berdasarkan
representamennya kita dapat membedakan tiga jenis tanda yakni: ikon,indeks dan
lambing. Mengacu pada pengalaman kebakaran rumah, pengalaman tersebut dapat
dialami melalui tiga jenis tanda yang telah disebutkan di atas. Apabila
pengalaman itu dialami dengan melihat “asap mengepul dikejauhan” maka asap
tersebut adalah tanda yang termasuk jenis indeks. Yang mana indeks merupakan
representamen yang mempunyai keterkaitan dengan yang diwakilinya. Dengan
demikian dapat kita pahami bahwa asap yang dimaksud adalah bagian dari
kebakaran.
Di
samping itu, kita juga dapat memahami pengalaman “kebakaran” tersebut juga bisa
menjadi representamen lain yaitu ikon. Misalnya berupa foto atau sebuah gambar
yang menyajikan kebakaran, ialah contoh daripada ikon. Foto maupun gambar
bergerak tersebut merupakan “tiruan” dari kebakaran yang kita lihat dan
memberikan pengalaman pada kita karena memiliki keserupaan dengan kebakaran
tersebut. Adapun selain dari dua hal tersebut, pengalaman juga dapat diwakili
oleh representamen jenis lambang, yaitu suatu representamen yang kaitan dengan
objeknya didasari konvensi antara pemberi tanda dan penerima tanda. Misalnya
bunyi sirine pemadam kebakaran yang dalam konvensi masyarakat merupakan sebuah
tanda adanya kebakaran.
Pierce
berpendapat bahwa sebuah tanda tidak berarti apa-apa terkecuali jika itu
diinterpretasikan sebagai tanda (Noth, 1996), dengan demikian, sebuah tanda
melibatkan proses kognitif di dalam kepala seseorang dan proses itu dapat
terjadi kalau ada representamen, acuan, dan interpretan. Sebuah tanda memiliki
tiga dimensi yang saling terkait yakni: representamen (R) sesuatu yang dapat
dipersepsi (perceptible), objek (O) sesuatu yang mengacu kepada hal lain
(referential) dan interpretan (I) sesuatu yang dapat diinterpretasi
(interpretable).
Adapun
contoh dari proses pemaknaan yang dikemukakan oleh pierce ialah yang mana kita
ambil istilah “tonggak” yang memiliki kaitan dengan gejala semiotik. Tonggak
merupakan sebuah istilah yang digunakan sebagai metafora, yakni representamen
yang memiliki objek tertentu. Tonggak mengingatkan seseorang akan sesuatu
(objek).
a. Benda
dan ingatan
Seperti
yang sudah dijelaskan di atas bahwa tonggak merupakan representamen dari
sesuatu, dan dalam pandangan semiotik tonggak adalah representamen yang
dipersepsi oleh manusia. maka berikut ini ialah contoh “tonggak” yang kaitannya
dengan benda dengan ingatan. Berdasarkan pengalaman dan kepercayaannya, manusia
menghubungkan representamen tersebut dengan seseorang yang sudah tiada (objek)
dan kemudian menafsirkannya. Seperti halnya “batu nisan” yang berfungsi sebagai
representamen dari orang yang telah tiada (objek). Sering kali pada bulan
ramadhan kita mengunjungi makam orang-orang yang kita kenal yang menurut kita
perlu untuk diingat, bisa saja orang tua maupun orang yang dikenal lainnya.
Namun ada juga objek lainnya yang berbentuk sosok seseorang yang tidak kita
kenal secara pribadi namun dipercayai sebagai leluhur atau orang suci yang bisa
dimintai berkah. Sehingga proses interpretan (penafsiran) dari makna “nisan”
tersebut sesuai dengan keinginan yang bersangkutan, misalnya dengan dengan
meminta maaf kepada kepada orang tua hidup akan lebih berkah dan tenang. Itulah
makna makam atau nisa sebagai tonggak, sebagai pengingat yang bermakna
religious.
b. Peristiwa
dan ingatan
Tonggak
tidak harus selalu berupa benda, tonggak bisa juga berupa peristiwa. Misalnya
adanya peringatan nuzulul Qur’an merupakan representamen yang dalam kognisi
manusia melahirkan objek diturunkannya Al-Qur’an. Selain itu, pada tanggal 17
agustus kita melakukan upacara merupakan representamen dari objek negara Indonesia bebas dari penjajah. Maka, “
tonggak” yakni representamen upacara dan berbagai kegiatan yang berkaitan
dengan peristiwa bersejarah itu, masyarakat diingatkan sehingga peristiwa
tersebut hadir sebagai objek yang ditandai oleh “tonggak” tersebut.
c. Lagu
dan Ingatan
Ketika
mendengarkan sebuah lagu serupa juga dengan melihat sebuah “tonggak”
(representamen) yang berkaitan dengan suatu peristiwa atau seseorang (objek).
Contohnya: lagu “alamat palsu” mengingatkan kita pada Ayu ting-ting, atau lagu
tertentu mengingatkan kita pada peristiwa di masa lalu atau orang-orang
tertentu yang saat itu lagi bersama kita ketika mendengarkannya.
d. Bau
serta aroma dan ingatan
Bau
atau aroma juga berfungsi sebagai “tonggak”. Aroma parfum tertentu
(representamen) dapat membawa kita pada pengalaman tertentu dengan seseorang
yang kita cintai misalnya (objek). Sate merupakan makanan yang sudah dikenal
dimana-mana, maka apabila kita mencium baud aging bakar (representamen), maka
bau itu merupakan tanda warung sate tak jauh dari kita (objek).
DAFTAR
PUSTAKA
Hoed.
2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Komunitas Bambu.
Christomy.
2016. HandOut “Peircean dan Kajian Budaya”. Bahan
Bacaan kuliah Semiotik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar