Jumat, 22 Juli 2016

Analisis Semiotik Pada corak, warna maupun motif Baju “Bodo” Pakaian Adat Bima




1.      Pendahuluan
Sebagai negara yang memiliki keragaman suku, adat istiadat, bahasa serta budaya, merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi kita sebagai warga negara Indonesia. Dengan adanya keragaman tersebut, menjadikan ciri khas yang unik karena hampir diberbagai pelosok nusantara ini masing- masing budaya memiliki corak dan karakter masing- masing. Selain itu, letak geografis dan kondisi alam menjadi factor yang berpengaruh terhadap pola hidup bermasyarakat dan pembentukan kesenian yang berkembang dimasyarakat. Budaya Indonesia merupakan cerminan dari nilai- nilai luhur bangsa Indonesia yang beraneka ragam. Sebagai warisan budaya, kebudayaan tradisional merupakan salah satu asset yang harus dikembangkan dan dibina guna memperkuat kedudukan dan kelestarian budaya bangsa Indonesia.
Salah satu warisan kebudayaan Indonesia ialah pakaian tradisional. Dimana corak maupun motif dari masing- masing pada pakaian tradisional merupakan sebuah cerminan budaya suatu daerah yang turun temurun dan dilestarikan. Sebagai negara kepulauan NTB (Nusa Tenggara Barat) merupakan salah satu propinsi yang terdiri dari dua pulau dan tiga suku yang berkembang di masyarakatnya. Salah satunya ialah suku bima atau yang biasa dikenal dengan suku “mbojo”. Suku Bima memiliki kebudayaan yang beraneka ragam salah satunya adalah beberapa motif hias pada pakaian adat kesultanan, Setiap karya seni, apapun bentuk maupun bahan pembuatannya memiliki tema dan beragam simbol atau lambang yang merupakan cermin diri dan lingkungan. Alam, pikiran, agama, kepercayaan, lingkungan hidup dan adat istiadat turut mempengaruhi terciptanya simbol dan pemaknaannya dapat dipahami bersama.
Demikian pula dengan  motif hias pada pakaian adat kesultanan Bima yang memiliki motif khusus yang merupakan ciri khas pakaian adat kesultanan Bima. Kehidupan masyarakat Bima umumnya sangat dekat dengan kebudayaan Islam, sehingga warisan leluhur dengan motif hias dan corak bernuansa religius menjadi hal yang kental dan dominan dengan filosofi dan makna islami. Motif hias pada pakaian adat kesultanan bima merupakan bukti peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu, motif hiasyang dikenakan dalam lingkungan kesultanan Bima adalah ragam motif dengan desain warna dan simbol pemaknaan yang menjadi maha karya para designer-designer istana sebagai bagian dari peristiwa sejarah kebudayaan Bima, sehinggapatut di jaga, dicintai dan di lestarikan agar dapat dinikmati kembali oleh generasi-generasi berikutnya.
Motif hias pada pakaian adat kesultanan Bima adalah macam-macam corak dan warna yang digunakan untuk menghias pakaian adat kesultanan Bima yang mengandung nilai-nilai tertentu. Adapun simbol-simbol motif hias pada pakaian adat kesultanan Bima ialah motif hias Nggusu Waru (segi delapan) melambangkan simbol angka delapan, motif hias Bunga Satako (bunga setangkai), motif hias  Bunga Samobo (bunga sekuntum) .
Untuk mengkaji suatu tanda dan makna pada pakaian adat kesultanan bima, model semiotika Pierce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning. Dimana segitiga makna tersebut terdiri dari tiga elemen uta yaitu tanda (sign), object dan interpretant. Tanda merupakan sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merujuk pada hal lain di luar tanda itu sendiri.
Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. (Denzin, 2009: 617) yang dikutip dari Suwarto, 2015:3)

Dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menganalisis makna dan fungsi yang mendasari penciptaan motif-motif dalam pakaian adat kesultanan Bima. Mengingat nilai kebudayaan tercermin dari kehidupan sehari-hari, dan salah satunya ialah tercermin dari apa yang dikenakan yang tentunya terkait dengan pakaian adat. Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengkaji makna yang terkandung pada corak maupun motif pakaian adat kesultanan bima.
2.      Teori
2.1 Semiotika Charles Sanders Peirce
Semiotika merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), fungsi tanda dan produksi makna dalam kehidupan manusia.  Dimana tanda itu sendiri merupakan sesuatu yang berarti bagi sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda. Oleh karena itu, tanda adalah tanda hanya apabila bermakna bagi manusia.
Pierce melihat pada konsep tanda yang lebih luas yang tidak hanya sebatas pada tanda linguistis. Pierce melihat semiotik tidak hanya dalam kerangka komunikasi tetapi dalam proses signifikasi yang mana sebuah proses pelahiran tanda dan makna. Pierce melihat tanda dalam mata rantai tanda yang tumbuh. Karena hal inilah para pengamat menempatkan pierce sebagai bagian dari pragmatism.
Adapun dasar dari pemikiran pragmatism dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic) yakni dimana setiap gejala secara fenomenologis mencakup tiga hal, yaitu (1) bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain. (2) bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu. (3) bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan dan ditandai. Dari kategori- kategori ini menunjukkan bahwa realitas hadir dalam tiga kemungkinan.

Setiap tanda dapat ditempatkan sebagai tanda itu sendiri, sebagai tanda yang terkait dengan yang lainnya dan sebagai mediator antara objek dan intrepretan. Dari ketiga kemungkinan inilah bagaimana realitas dipandang menurut pandangannya Pierce. Berlanjut dari tiga kemungkinan tersebut, maka dihasilkanlah tiga trikotomi, yakni: trikotomi pertama (ground) yang terdiri dari qualisign, sinsign dan legisign. Tri kotomi yang kedua(denotatum) terdiri dari ikonis, indeks dan symbol, dan trikotomi yang ke tiga(interpretant) yang terdiri dari term, proposisi dan argument.

2.2  Pakaian Adat Kesultanan Bima
Keragaman motif dan simbol-simbol sebagai kekayaan budaya negeri merupakan sebagian kecil dari karya-karya leluhur yang diwarisi dari gagasan kehidupan dari alam-alam nusantara, hal tersebut begitu tertata indah ketika motif dan lambang itu dipadukan dalam warna-warna pakaian yang menjadi karakter dan pembeda di antara setiap etnis di Indonesia.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2008: 141)Pakaian adalah baju penutup badan dan adat adalah aturan yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kalaPakaian adat merupakan semua kelengkapan yang dipakai oleh seseorang yang menunjukkan ethos kebudayaan suatu masyarakat.
Pakaian adat berbeda pada setiap daerah-daerah di nusantara, perbedaannya terletak pada warna, hiasan dan motif. Umumnya perbedaan itu muncul akibat adanya perpaduan budaya asli dan budaya pendatang seperti cina, arab dan india (Dorothi, fritz, 1952: 3)
Seperti pada umumnya suku-suku di Indonesia, masyarakat Bima mengenal beragam jenis pakaian adat, diantaranya sebagai berikut:
a.       Pakaian adat harian, merupakan pakaian yang dikenakan untuk menghadiri undangan atau ketika berperan aktif dalam pelaksanaan upacara adat.
b.      Pakaian adat upacara daur hidup adalah busana yang dikenakan pada upacara pernikahan, kelahiran dan kematian.
c.       Pakaian adat penari yaitu pakaian adat yang dikenakan oleh penari.
d.      Pakaian adat kesultanan ialah pakaian yang dikenakan oleh sultan dan pejabat kesultanan (Asi Mbojo) dimana jenis dan ragamnya disesuaikan dengan jenjang dan kepangkatan dan tugas masing- masing pejabat (Hilir Ismail, 16: 2006).

Pakaian adat kesultanan Bima merupakan pakaian para pejabat pemerintah kesultanan Bima. Jabatan dan pangkat sangat mempengaruhi jenis pakaian yang dikenakan. Berikut adalah penjabaran pakaian adat kesultanan Bima menurut buku “Pakaian Adat Bima” yang ditulis oleh salah satu budayawan Bima (idem).
Dalam upacara Tuha ro Lanti (penobatan dan pelantikan) menjadi sultan, sultan mengenakan Mahkota, keris Samparaja, Baju Pasangi (jas tutup) dan Sarowa Dondo (celana panjang).Sedangkan dalam menjalankan tugas-tugas hariannya, seorang sultan mengenakan Baju Ja Tutu Lanta (baju jas tutup putih),Sarowa Dondo Lanta (celana panjang putih),  Baba masa (ikat pinggang dari emas), Sampari Masa (keris, hulu dan sarungya dari emas), Songko Pangge Ta’a Pinggi Masa (kopiah rotan yang dibagian atasnya dihiasi benang emas).  

Adapun gambar motif hias pada pakaian adat kesultanan Bima yaitu:
1.      Motif hias tumbuh- tumbuhan yang terdapat pada pakaian adat kesultanan bima.
a.       Motif hias bunga satako ( bunga setangkai)
Motif ini adalah motif tumbuh-tumbuhan (bunga) yang umumnya terdapat pada Baju pasangi yaitu pakaian kebesaran sultan yang dikenakan dalam upacara-upacara adat kesultanan seperti upacara U’a pua dan upacara Tuha ra Lanti (pelantikan sultan Bima).
b.      Motif hias bunga samobo ( bunga sekuntum)
Motif hias sekuntum bunga yang biasa terdapat pada Baju Poro (baju adat penari istana) saat menarikan tarian klasik istana Mpa’a Lenggodalam upacara U’a Pua yaitu upacara peringatan masuknya Islam di Bimamotif hias ini juga terdapat pada Pasapu Monca, yaitu sapu tangan berwarna kuning untuk membungkus keris sultan dan pejabat kesultanan, juga terdapat pada selendang penari.

2.      Motif hias geometri yang terdapat pada pakaian adat kesultanan bima
a.       Motif hias nggusu waru ( segi delapan)
Motif geometri segi delapan, Nggusu Waru adalah motif yang paling sering digunakan untuk motif hias pada pakaian kesultanan, khususnya pada Tembe (sarung) dan Weri (ikat pinggang) sultan. Selain itu motif ini juga kerap dijumpai pada sarung-sarung penari istana, dan pada Sambolo (destar) yang dikenakan oleh pejabat-pejabat istana.

3.      Analisis
Adapun titik sentral dari teori semiotika Pierce ialah sebuah trikotomi yang terdiri atas tiga tingkat:

1
2
3
Representamen (R1)
Qualisign

Sinsign

Legisign

Object(O2)
Icon

Index
Symbol

Interpretant (I3)
Rhema
Dicisign
Argument

a.       Representamen ( bentuk fisik yang dapat diserap panca indera dan mengacu pada sesuatu) yaitu corak maupun motif yang ada pada pakaian adat bima yang berupa motif hias geometri yang berbentuk segi delapan.
1.      Qualisign ( tanda berdasarkan sifatnya) : Warna pakaian adat kesultanan bima Dana kala (warna merah) bermakna sifat berani yang dimiliki oleh seorang sultan. Sultan adalah sosok yang berani dalam mengambil keputusan, tegas membela keadilan dan kepentingan rakyatnya. Dana Monca (warna kuning) adalah warna yang memaknai kejayaan dan kebesaran, warna ini umumnya ditempatkan pada keris Samparaja, sapu tangan pembungkus keris(Pasapu Monca), terdapat pula pada Songko Pangge Ta’a (kopiah perdana mentri). Warna ketiga adalah Dana Jao (warna hijau) yaitu warna yang berarti kesuburan dan kemakmuran, warna ini biasa dikenakan oleh permaisuri sultan dan anak-anak sultan.
2.      Sinsign ( tanda berdasarkan bentuk kenyataan) : motif hias Bunga Satako ( satu tangkai bunga) yang berarti tumbuh- tumbuhan yang berupa bunga.
3.      Legisign ( tanda berdasarkan peraturan yang berlaku) : motif hias geometri yang disebut dengan motif hias “nggusu waru” ( Angka delapan) yang melambangkan delapan sifat kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Yakni: 1) berilmu, 2) bertakwa kepada allah SWT. 3) berakhlak baik, 4) keturunan terpandang dan disegani rakyat, 5) peduli terhadap kepentingan rakyat, 6) berkecukupan / kaya, 7) konsisten, 8) berani dan tangkas membela rakyat.
b.      Object (klarifikasi sebuah tanda)
1.      Icon ( tanda yang memiliki kesamaan dengan cirri-ciri yang dimaksud) : Bunga satako ( sekuntum bunga) yang memiliki bentuk kesamaan dengan angka satu.
2.      Index ( tanda yang  mempunyai kaitan dengan apa yang diwakilinya) : sekuntum bunga (bunga samobo) selalu menebarkan harum atau wangi terhadap lingkungannya.
3.      Symbol ( tanda yang berlaku umum berdasarkan kesepakatan) : warna merah ( melambangkan keberanian), warna kuning (melambangkan kejayaan), warna hijau (melambangkan kemakmuran).
c.       Interpretant ( Tanda berdasakan interpretannya)
1.      Rhema  bahwa lambang dan makna tanda masih dapat dikembangkan. Bunga Satako dan samobo, berkaitan dengan kehidupan sosial dan keagamaan, seperti kebersamaan.
2.      Decisign  bahwa lambang dan interpretan terdapat hubungan yang benar : simbol segi delapan sebagai gagasan yang menjelaskan ada 8 (delapan) syarat kepemimpinan bagi kesultanan Bima.
3.      Argument bahwa lambang dan tanda mempunyai sifat umum. Warna merah, kuning dan hijau yang melambangkan keberanian, kemakmuran dan kejayaan.



4.      Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara makna dan  tanda yang terdapat dalam pakaian adat kesultanan bima tidak terlepas dari hubungannya dengan alam dan kepercayaan yang mengandung nilai- nilai keagamaan. Seperti halnya sekuntum dan setangkai bunga yang menjadi motif dalam pakaian melambangkan kehidupan dalam bermasyarakat yang mengutamakan kebersamaan (satu-setangkai/satako) dan kebaikan seperti aroma bunga. Selain itu, dikarenakan mayoritas penduduk daerah bima beragama islam, maka lambang angka delapan, mencerminkan delapan sikap yang harus dimiliki oleh pemimpin dalam agama islam.




















DAFTAR PUSTAKA
·         Christomy. 2016. HandOut “Peircean dan Kajian Budaya”. Bahan Bacaan kuliah Semiotik.
·         Ismail, Hilir. 2006. Pakaian Adat Bima. Bogor: Penerbit Binasti
·         Suwarto, 2015. Analisis Semiotika Gambar Peringatan Bahaya Merokok Pada Semua Kemasan Rokok  Di Indonesia. Skripsi . Universitas bhayangkara.

















Kajian Makna dalam Pandangan Semiotik



Perbedaan Pengkajian Makna Menurut Pierce dan Saussure
Manusia, pada kodratnya selalu memiliki rasa ingin tahu. Karena keingintahuan tersebut maka mereka selalu mencari makna dari berbagai hal yang ada disekitarnya. Karena itulah manusia memiliki kemampuan untuk memberikan makna pada berbagai gejala social budaya dan alamiah.
Semiotika merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), fungsi tanda dan produksi makna dalam kehidupan manusia.  Dimana tanda itu sendiri merupakan sesuatu yang berarti bagi sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda. Oleh karena itu, tanda adalah tanda hanya apabila bermakna bagi manusia.
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology). Adapun perbedaan yang paling nyata yang dilihat dari sudut pandang kedua semiotikus tersebut ialah Saussure lebih menekankan pada tanda-tanda linguistic sedangkan pierce berangkat dari tanda global atau pansemiotik (Noth.1995).
Menurut Saussure, semenjak bahasa dianggap sebagai sebuah sistem tanda, penelitian linguistic harus diarahkan terhadap produksi tanda dan aturan yang melatar belakanginya (Lee 1989). Namun dalam hal ini, Saussure lebih menekankan pada konsep arbitrer dan dwipihak atau dyadic (Masinambow, 2000).
Dalam catatan kuliahnya yang kemudian dibukukan pada tahun 1916, disebutkan bahwa terdapat lima hal penting, yaitu dimana yang pertama ialah bahwa tanda terdiri dari penanda (significant) dan petanda (signifie) yang hubungan pemaknaannya didasari oleh konvensi social, sehingga karena itulah hal yang kedua ialah bahwa bahasa merupakan gejala social yang bersifat arbitrer serta konvesional dan terdiri dari perangkat kaidah social yang disadari bersama (langue) dan praktik social (parole), kemudian yang ke tiga ialah hubungan antar tanda bersifat sintagmatik dan assosiatif. Bahasa terdiri dari tanda-tanda yang tersusun secara linier dan berdampingan. Susunan antar tanda dikatakan didasari oleh relasi sintagmatik linier, misalnya: “Ali makan nasi”. Selain itu, tanda bahasa yang dilihat dalam relasi assosiatif ialah seperti contoh kata “mahasiswa” dapat menimbulkan asosiasi (spontan) pada sejumlah kata yang lainnya. Misalnya seperti kata dosen, ujian, buku, universitas, fakultas, dll. 
Hal yang ke empat ialah bahwa bahasa dapat didekati secara diakronis (perkembangannya) dan sinkronis (sistemnya pada kurun waktu tertentu). Adapun konsep sinkronis berhubungan dengan dua konsep yaitu sintagmatik dan paradigmatic. Menurut Saussure tanda secara sinkronik diatur oleh aspek paradigmatic atau satu set pilihan tanda yang dikemas dalam bentuk hierarkis seperti halnya pada konsep tentang warna ( putih,hitam,sawo matang,pucat,hijau) yang mengisi slot warna kulit ialah paradigmatic.
Kemudian konsep konsep sintagmatik ialah tanda-tanda yang diambil dari paradigm tersebut dapat dikombinasikan dengan set yang lain dengan mengikuti aturan yang berlaku. Misalnya dapat kita lihat pada contoh kalimat “wanita putih itu cantik”. Dalam kalimat ini, ada hubungan relasional diantara paradigm atau set tentang wanita, warna, cantik, deiksis dan kulit.
Selanjutnya hal yang ke lima dalam pandangan Saussure ialah dilihat sebagai gejala sosial dimana bahasa terdiri dari dua tataran yaitu kaidah sistem internal (langue) dan praktik sosial (parole). Dalam kaitannya dengan ini, Saussure lebih cenderung memperhatikan langue ketimbang parole. Hal ini dipahami karena Saussure lebih berambisi untuk mencari keteraturan yang dapat dikemasnya sebagai ilmu tanda. Sedang parole dianggap sebagai aktualisasi bahasa yang temporal. Untuk demikian, penekanan pada penelitian harus tertuju pada struktur kognisi yang kokoh. 
Sementara Saussure menekankan pada tanda- tanda linguistis sementara Pierce melihat pada konsep tanda yang lebih luas yang tidak hanya sebatas pada tanda linguistis. Pierce melihat semiotik tidak hanya dalam kerangka komunikasi tetapi dalam proses signifikasi yang mana sebuah proses pelahiran tanda dan makna. Pierce melihat tanda dalam mata rantai tanda yang tumbuh. Karena hal inilah para pengamat menempatkan pierce sebagai bagian dari pragmatism.
Adapun dasar dari pemikiran pragmatism dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic) yakni dimana setiap gejala secara fenomenologis mencakup tiga hal, yaitu (1) bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain. (2) bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu. (3) bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan dan ditandai. Dari kategori- kategori ini menunjukkan bahwa realitas hadir dalam tiga kemungkinan.
Setiap tanda dapat ditempatkan sebagai tanda itu sendiri, sebagai tanda yang terkait dengan yang lainnya dan sebagai mediator antara objek dan intrepretan. Dari ketiga kemungkinan inilah bagaimana realitas dipandang menurut pandangannya Pierce. Berlanjut dari tiga kemungkinan tersebut, maka dihasilkanlah tiga trikotomi, yakni: trikotomi pertama (ground) yang terdiri dari qualisign, sinsign dan legisign. Tri kotomi yang kedua(denotatum) terdiri dari ikonis, indeks dan symbol, dan trikotomi yang ke tiga(interpretant) yang terdiri dari term, proposisi dan argument.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perhatian utama dalam teori semiotik yaitu berada pada “tanda” yakni sesuatu yang mewakili sesuatu. Katakanlah bahwa sesuatu yang diwakili tersebut merupakan “pengalaman manusia”, baik pengalaman fisik maupun pengalaman mental. Misalnya sebuah pengalaman fisik yang berupa kebakaran rumah. Dalam mengemukakan makna tanda “sesuatu yang mewakili sesuatu” maka kaitannya dalam hal ini kita dapat mengatakan bahwa tanda adalah “sesuatu yang mewakili pengalaman”, sesuatu yang dimaksud yang berhubungan dengan hal ini ialah, misalnya asap yang terlihat dari jauh menurut semiotik disebut dengan representamen.
Menurut model trikotomi pierce bahwa proses pemaknaan tanda mengikuti tiga tahap, yakni: (1) persepsi indrawi atas representamen (asap yang terlihat dari jauh), (2) perujukan asap pada objek (peristiwa kebakaran yang tidak dialami langsung) dan (3) pembentukan interpretan (penafsiran).
Berdasarkan representamennya kita dapat membedakan tiga jenis tanda yakni: ikon,indeks dan lambing. Mengacu pada pengalaman kebakaran rumah, pengalaman tersebut dapat dialami melalui tiga jenis tanda yang telah disebutkan di atas. Apabila pengalaman itu dialami dengan melihat “asap mengepul dikejauhan” maka asap tersebut adalah tanda yang termasuk jenis indeks. Yang mana indeks merupakan representamen yang mempunyai keterkaitan dengan yang diwakilinya. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa asap yang dimaksud adalah bagian dari kebakaran.
Di samping itu, kita juga dapat memahami pengalaman “kebakaran” tersebut juga bisa menjadi representamen lain yaitu ikon. Misalnya berupa foto atau sebuah gambar yang menyajikan kebakaran, ialah contoh daripada ikon. Foto maupun gambar bergerak tersebut merupakan “tiruan” dari kebakaran yang kita lihat dan memberikan pengalaman pada kita karena memiliki keserupaan dengan kebakaran tersebut. Adapun selain dari dua hal tersebut, pengalaman juga dapat diwakili oleh representamen jenis lambang, yaitu suatu representamen yang kaitan dengan objeknya didasari konvensi antara pemberi tanda dan penerima tanda. Misalnya bunyi sirine pemadam kebakaran yang dalam konvensi masyarakat merupakan sebuah tanda adanya kebakaran.
Pierce berpendapat bahwa sebuah tanda tidak berarti apa-apa terkecuali jika itu diinterpretasikan sebagai tanda (Noth, 1996), dengan demikian, sebuah tanda melibatkan proses kognitif di dalam kepala seseorang dan proses itu dapat terjadi kalau ada representamen, acuan, dan interpretan. Sebuah tanda memiliki tiga dimensi yang saling terkait yakni: representamen (R) sesuatu yang dapat dipersepsi (perceptible), objek (O) sesuatu yang mengacu kepada hal lain (referential) dan interpretan (I) sesuatu yang dapat diinterpretasi (interpretable).
Adapun contoh dari proses pemaknaan yang dikemukakan oleh pierce ialah yang mana kita ambil istilah “tonggak” yang memiliki kaitan dengan gejala semiotik. Tonggak merupakan sebuah istilah yang digunakan sebagai metafora, yakni representamen yang memiliki objek tertentu. Tonggak mengingatkan seseorang akan sesuatu (objek).

a.       Benda dan ingatan
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa tonggak merupakan representamen dari sesuatu, dan dalam pandangan semiotik tonggak adalah representamen yang dipersepsi oleh manusia. maka berikut ini ialah contoh “tonggak” yang kaitannya dengan benda dengan ingatan. Berdasarkan pengalaman dan kepercayaannya, manusia menghubungkan representamen tersebut dengan seseorang yang sudah tiada (objek) dan kemudian menafsirkannya. Seperti halnya “batu nisan” yang berfungsi sebagai representamen dari orang yang telah tiada (objek). Sering kali pada bulan ramadhan kita mengunjungi makam orang-orang yang kita kenal yang menurut kita perlu untuk diingat, bisa saja orang tua maupun orang yang dikenal lainnya. Namun ada juga objek lainnya yang berbentuk sosok seseorang yang tidak kita kenal secara pribadi namun dipercayai sebagai leluhur atau orang suci yang bisa dimintai berkah. Sehingga proses interpretan (penafsiran) dari makna “nisan” tersebut sesuai dengan keinginan yang bersangkutan, misalnya dengan dengan meminta maaf kepada kepada orang tua hidup akan lebih berkah dan tenang. Itulah makna makam atau nisa sebagai tonggak, sebagai pengingat yang bermakna religious.
b.      Peristiwa dan ingatan
Tonggak tidak harus selalu berupa benda, tonggak bisa juga berupa peristiwa. Misalnya adanya peringatan nuzulul Qur’an merupakan representamen yang dalam kognisi manusia melahirkan objek diturunkannya Al-Qur’an. Selain itu, pada tanggal 17 agustus kita melakukan upacara merupakan representamen dari objek  negara Indonesia bebas dari penjajah. Maka, “ tonggak” yakni representamen upacara dan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan peristiwa bersejarah itu, masyarakat diingatkan sehingga peristiwa tersebut hadir sebagai objek yang ditandai oleh “tonggak” tersebut.
c.       Lagu dan Ingatan
Ketika mendengarkan sebuah lagu serupa juga dengan melihat sebuah “tonggak” (representamen) yang berkaitan dengan suatu peristiwa atau seseorang (objek). Contohnya: lagu “alamat palsu” mengingatkan kita pada Ayu ting-ting, atau lagu tertentu mengingatkan kita pada peristiwa di masa lalu atau orang-orang tertentu yang saat itu lagi bersama kita ketika mendengarkannya.
d.      Bau serta aroma dan ingatan
Bau atau aroma juga berfungsi sebagai “tonggak”. Aroma parfum tertentu (representamen) dapat membawa kita pada pengalaman tertentu dengan seseorang yang kita cintai misalnya (objek). Sate merupakan makanan yang sudah dikenal dimana-mana, maka apabila kita mencium baud aging bakar (representamen), maka bau itu merupakan tanda warung sate tak jauh dari kita (objek).

DAFTAR PUSTAKA
Hoed. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Komunitas Bambu.
Christomy. 2016. HandOut “Peircean dan Kajian Budaya”. Bahan Bacaan kuliah Semiotik.