1.
Pendahuluan
Sebagai negara yang memiliki keragaman suku, adat
istiadat, bahasa serta budaya, merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi kita
sebagai warga negara Indonesia. Dengan adanya keragaman tersebut, menjadikan
ciri khas yang unik karena hampir diberbagai pelosok nusantara ini masing-
masing budaya memiliki corak dan karakter masing- masing. Selain itu, letak
geografis dan kondisi alam menjadi factor yang berpengaruh terhadap pola hidup
bermasyarakat dan pembentukan kesenian yang berkembang dimasyarakat. Budaya
Indonesia merupakan cerminan dari nilai- nilai luhur bangsa Indonesia yang
beraneka ragam. Sebagai warisan budaya, kebudayaan tradisional merupakan salah
satu asset yang harus dikembangkan dan dibina guna memperkuat kedudukan dan
kelestarian budaya bangsa Indonesia.
Salah satu warisan kebudayaan Indonesia ialah
pakaian tradisional. Dimana corak maupun motif dari masing- masing pada pakaian
tradisional merupakan sebuah cerminan budaya suatu daerah yang turun temurun
dan dilestarikan. Sebagai negara kepulauan NTB (Nusa Tenggara Barat) merupakan
salah satu propinsi yang terdiri dari dua pulau dan tiga suku yang berkembang
di masyarakatnya. Salah satunya ialah suku bima atau yang biasa dikenal dengan
suku “mbojo”. Suku Bima memiliki
kebudayaan yang beraneka ragam salah satunya adalah beberapa motif hias pada pakaian adat
kesultanan, Setiap karya seni, apapun bentuk maupun bahan pembuatannya memiliki
tema dan beragam simbol atau lambang yang merupakan cermin diri dan lingkungan.
Alam, pikiran, agama, kepercayaan, lingkungan hidup dan adat istiadat turut
mempengaruhi terciptanya simbol dan pemaknaannya dapat dipahami bersama.
Demikian pula dengan motif hias pada pakaian adat
kesultanan Bima yang memiliki
motif khusus yang merupakan ciri khas pakaian adat kesultanan Bima. Kehidupan
masyarakat Bima umumnya sangat dekat dengan kebudayaan Islam, sehingga warisan
leluhur dengan motif hias dan corak bernuansa religius menjadi hal yang kental
dan dominan dengan filosofi dan makna islami. Motif
hias pada pakaian adat kesultanan bima merupakan bukti peninggalan nenek moyang
bangsa Indonesia puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu, motif hiasyang
dikenakan dalam lingkungan kesultanan Bima adalah ragam motif dengan desain
warna dan simbol pemaknaan yang menjadi maha karya para designer-designer istana sebagai bagian dari
peristiwa sejarah kebudayaan Bima, sehinggapatut di jaga, dicintai dan di
lestarikan agar dapat dinikmati kembali oleh generasi-generasi berikutnya.
Motif hias pada
pakaian adat kesultanan Bima adalah
macam-macam corak dan warna yang
digunakan untuk menghias pakaian adat kesultanan Bima yang mengandung
nilai-nilai tertentu. Adapun simbol-simbol motif hias pada pakaian adat
kesultanan Bima ialah motif hias Nggusu Waru (segi delapan) melambangkan simbol
angka delapan, motif hias Bunga Satako (bunga setangkai), motif hias Bunga Samobo (bunga sekuntum) .
Untuk mengkaji suatu
tanda dan makna pada pakaian adat kesultanan bima, model semiotika Pierce
mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning. Dimana segitiga makna
tersebut terdiri dari tiga elemen uta yaitu tanda (sign), object dan
interpretant. Tanda merupakan sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap
oleh panca indera manusia dan merujuk pada hal lain di luar tanda itu sendiri.
Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang
muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan
Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda
ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi
referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Interpretant atau
pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan
menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang
tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses
semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu
digunakan orang saat berkomunikasi. (Denzin, 2009: 617) yang dikutip dari
Suwarto, 2015:3)
Dari latar belakang
di atas, penulis tertarik untuk menganalisis makna dan fungsi yang mendasari
penciptaan motif-motif dalam pakaian adat kesultanan Bima. Mengingat nilai
kebudayaan tercermin dari kehidupan sehari-hari, dan salah satunya ialah
tercermin dari apa yang dikenakan yang tentunya terkait dengan pakaian adat. Adapun
tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengkaji makna yang terkandung pada
corak maupun motif pakaian adat kesultanan bima.
2.
Teori
2.1
Semiotika Charles Sanders Peirce
Semiotika merupakan sebuah ilmu yang mempelajari
tentang tanda (sign), fungsi tanda dan produksi makna dalam kehidupan manusia. Dimana tanda itu sendiri merupakan sesuatu
yang berarti bagi sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat
teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda.
Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam
sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil,
sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan,
sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu
kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut
uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan,
menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan,
kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda. Oleh karena itu,
tanda adalah tanda hanya apabila bermakna bagi manusia.
Pierce melihat pada konsep tanda yang
lebih luas yang tidak hanya sebatas pada tanda linguistis. Pierce melihat
semiotik tidak hanya dalam kerangka komunikasi tetapi dalam proses signifikasi
yang mana sebuah proses pelahiran tanda dan makna. Pierce melihat tanda dalam
mata rantai tanda yang tumbuh. Karena hal inilah para pengamat menempatkan
pierce sebagai bagian dari pragmatism.
Adapun dasar dari pemikiran pragmatism
dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic) yakni dimana setiap gejala secara
fenomenologis mencakup tiga hal, yaitu (1) bagaimana sesuatu menggejala tanpa
harus mengacu pada sesuatu yang lain. (2) bagaimana hubungan gejala tersebut
dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu. (3) bagaimana
gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan dan ditandai. Dari
kategori- kategori ini menunjukkan bahwa realitas hadir dalam tiga kemungkinan.
Setiap tanda dapat ditempatkan sebagai tanda itu
sendiri, sebagai tanda yang terkait dengan yang lainnya dan sebagai mediator
antara objek dan intrepretan. Dari ketiga kemungkinan inilah bagaimana realitas
dipandang menurut pandangannya Pierce. Berlanjut dari tiga kemungkinan
tersebut, maka dihasilkanlah tiga trikotomi, yakni: trikotomi pertama (ground)
yang terdiri dari qualisign, sinsign dan legisign. Tri kotomi yang
kedua(denotatum) terdiri dari ikonis, indeks dan symbol, dan trikotomi yang ke
tiga(interpretant) yang terdiri dari term, proposisi dan argument.
2.2 Pakaian Adat Kesultanan Bima
Keragaman motif dan simbol-simbol sebagai kekayaan budaya negeri
merupakan sebagian kecil dari karya-karya leluhur yang diwarisi dari gagasan
kehidupan dari alam-alam nusantara, hal tersebut begitu tertata indah ketika
motif dan lambang itu dipadukan dalam warna-warna pakaian yang menjadi karakter
dan pembeda di antara setiap etnis di Indonesia.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2008: 141), Pakaian adalah baju
penutup badan dan adat adalah aturan
yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala. Pakaian
adat merupakan semua kelengkapan yang dipakai oleh seseorang yang
menunjukkan ethos kebudayaan suatu masyarakat.
Pakaian adat berbeda pada setiap daerah-daerah di nusantara,
perbedaannya terletak pada warna, hiasan dan motif. Umumnya perbedaan itu
muncul akibat adanya perpaduan budaya asli dan budaya pendatang seperti cina,
arab dan india (Dorothi, fritz, 1952: 3)
Seperti pada umumnya
suku-suku di Indonesia, masyarakat Bima mengenal beragam jenis pakaian adat,
diantaranya sebagai berikut:
a. Pakaian adat harian,
merupakan pakaian yang dikenakan untuk menghadiri undangan atau ketika berperan
aktif dalam pelaksanaan upacara adat.
b. Pakaian adat upacara
daur hidup adalah busana yang dikenakan pada upacara pernikahan, kelahiran dan
kematian.
c. Pakaian adat penari
yaitu pakaian adat yang dikenakan oleh penari.
d. Pakaian adat
kesultanan ialah pakaian yang dikenakan oleh sultan dan pejabat kesultanan (Asi
Mbojo) dimana jenis dan ragamnya disesuaikan dengan jenjang dan kepangkatan dan
tugas masing- masing pejabat (Hilir Ismail, 16: 2006).
Pakaian adat kesultanan Bima merupakan pakaian para pejabat
pemerintah kesultanan Bima. Jabatan dan pangkat sangat mempengaruhi jenis
pakaian yang dikenakan. Berikut adalah penjabaran pakaian adat kesultanan Bima
menurut buku “Pakaian Adat Bima” yang ditulis oleh salah satu budayawan Bima (idem).
Dalam upacara Tuha
ro Lanti (penobatan dan pelantikan) menjadi sultan, sultan
mengenakan Mahkota, keris Samparaja,
Baju Pasangi (jas tutup) dan Sarowa Dondo (celana
panjang).Sedangkan dalam
menjalankan tugas-tugas hariannya, seorang sultan mengenakan Baju Ja Tutu Lanta (baju jas
tutup putih),Sarowa Dondo Lanta (celana
panjang putih), Baba
masa (ikat pinggang dari emas), Sampari Masa (keris, hulu dan sarungya dari emas), Songko Pangge Ta’a Pinggi Masa (kopiah
rotan yang dibagian atasnya dihiasi benang emas).
Adapun gambar motif
hias pada pakaian adat kesultanan Bima yaitu:
1. Motif hias tumbuh-
tumbuhan yang terdapat pada pakaian adat kesultanan bima.
a. Motif hias bunga
satako ( bunga setangkai)
Motif ini adalah motif tumbuh-tumbuhan (bunga)
yang umumnya terdapat pada Baju pasangi yaitu pakaian
kebesaran sultan yang dikenakan dalam upacara-upacara adat kesultanan seperti
upacara U’a pua dan upacara Tuha ra Lanti (pelantikan
sultan Bima).
b. Motif hias bunga
samobo ( bunga sekuntum)
Motif hias sekuntum bunga yang biasa terdapat
pada Baju Poro (baju adat penari istana) saat menarikan tarian
klasik istana Mpa’a Lenggodalam upacara U’a Pua yaitu
upacara peringatan masuknya Islam di Bima, motif hias ini juga
terdapat pada Pasapu Monca, yaitu sapu tangan berwarna kuning
untuk membungkus keris sultan dan pejabat kesultanan, juga terdapat pada
selendang penari.
2. Motif hias geometri
yang terdapat pada pakaian adat kesultanan bima
a. Motif hias nggusu waru
( segi delapan)
Motif geometri segi delapan, Nggusu
Waru adalah motif yang paling sering digunakan untuk motif hias pada
pakaian kesultanan, khususnya pada Tembe (sarung) dan Weri (ikat
pinggang) sultan. Selain itu motif ini juga kerap dijumpai pada sarung-sarung
penari istana, dan pada Sambolo (destar) yang dikenakan oleh
pejabat-pejabat istana.
3.
Analisis
Adapun
titik sentral dari teori semiotika Pierce ialah sebuah trikotomi yang terdiri
atas tiga tingkat:
|
1
|
2
|
3
|
Representamen (R1)
|
Qualisign
|
Sinsign
|
Legisign
|
Object(O2)
|
Icon
|
Index
|
Symbol
|
Interpretant
(I3)
|
Rhema
|
Dicisign
|
Argument
|
a. Representamen
( bentuk fisik yang dapat diserap panca indera dan mengacu pada sesuatu) yaitu
corak maupun motif yang ada pada pakaian adat bima yang berupa motif hias
geometri yang berbentuk segi delapan.
1. Qualisign
( tanda berdasarkan sifatnya) : Warna pakaian adat kesultanan bima Dana kala (warna merah) bermakna sifat berani yang dimiliki oleh
seorang sultan. Sultan adalah sosok yang berani dalam mengambil keputusan,
tegas membela keadilan dan kepentingan rakyatnya. Dana
Monca (warna kuning) adalah
warna yang memaknai kejayaan dan kebesaran, warna ini umumnya ditempatkan pada
keris Samparaja, sapu tangan pembungkus keris(Pasapu Monca), terdapat
pula pada Songko Pangge Ta’a (kopiah
perdana mentri). Warna ketiga adalah Dana Jao (warna
hijau) yaitu warna yang berarti kesuburan dan kemakmuran, warna ini biasa
dikenakan oleh permaisuri sultan dan anak-anak sultan.
2. Sinsign ( tanda berdasarkan bentuk kenyataan) :
motif hias Bunga Satako ( satu tangkai bunga) yang
berarti tumbuh- tumbuhan yang berupa bunga.
3. Legisign ( tanda
berdasarkan peraturan yang berlaku) : motif hias geometri yang disebut dengan
motif hias “nggusu waru” ( Angka delapan) yang melambangkan
delapan sifat kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Yakni: 1) berilmu, 2) bertakwa kepada allah
SWT. 3) berakhlak baik, 4) keturunan terpandang dan disegani rakyat, 5) peduli
terhadap kepentingan rakyat, 6) berkecukupan / kaya, 7) konsisten, 8) berani
dan tangkas membela rakyat.
b. Object (klarifikasi sebuah tanda)
1.
Icon (
tanda yang memiliki kesamaan dengan cirri-ciri yang dimaksud) : Bunga satako (
sekuntum bunga) yang memiliki bentuk kesamaan dengan angka satu.
2.
Index (
tanda yang mempunyai kaitan dengan apa
yang diwakilinya) : sekuntum bunga (bunga samobo) selalu menebarkan harum atau
wangi terhadap lingkungannya.
3.
Symbol ( tanda
yang berlaku umum berdasarkan kesepakatan) : warna merah ( melambangkan
keberanian), warna kuning (melambangkan kejayaan), warna hijau (melambangkan
kemakmuran).
c. Interpretant ( Tanda berdasakan interpretannya)
1. Rhema
bahwa lambang dan makna tanda masih dapat
dikembangkan. Bunga Satako dan samobo, berkaitan
dengan kehidupan sosial dan keagamaan, seperti kebersamaan.
2. Decisign
bahwa lambang dan interpretan terdapat hubungan yang
benar : simbol segi delapan sebagai gagasan yang menjelaskan ada 8
(delapan) syarat kepemimpinan bagi kesultanan Bima.
3. Argument
bahwa lambang dan
tanda mempunyai sifat umum. Warna merah, kuning dan hijau yang melambangkan
keberanian, kemakmuran dan kejayaan.
4.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa kaitan antara makna dan
tanda yang terdapat dalam pakaian adat kesultanan bima tidak terlepas
dari hubungannya dengan alam dan kepercayaan yang mengandung nilai- nilai
keagamaan. Seperti halnya sekuntum dan setangkai bunga yang menjadi motif dalam
pakaian melambangkan kehidupan dalam bermasyarakat yang mengutamakan
kebersamaan (satu-setangkai/satako) dan kebaikan seperti aroma bunga. Selain
itu, dikarenakan mayoritas penduduk daerah bima beragama islam, maka lambang
angka delapan, mencerminkan delapan sikap yang harus dimiliki oleh pemimpin
dalam agama islam.
DAFTAR PUSTAKA
·
Christomy. 2016. HandOut “Peircean dan
Kajian Budaya”. Bahan Bacaan kuliah
Semiotik.
·
Ismail,
Hilir. 2006. Pakaian Adat
Bima. Bogor: Penerbit Binasti
·
Suwarto,
2015. Analisis Semiotika Gambar Peringatan Bahaya Merokok Pada Semua Kemasan
Rokok Di Indonesia. Skripsi .
Universitas bhayangkara.
|
|
|
|||
|
|
|
|
||